Pengertian
Pandangan Hihup
Menurut Koentjaraningrat (1980) pandangan hidup
adalah nilai-nilai yang dianut oleh
suatu masyarakat yang dipilih secara selektif
oleh para individu dan golongan didalam masyarakat. Pandangan hidup
terdiri atas cita-cita, kebajikan dan sikap hidup. Sedangkan menurut
Manuel Kaisiepo 1982, pandangan hidup merupakan bagian hidup manusia. Tidak ada
seorang pun yang hidup tanpa pandangan hidup meskipun tingkatannya
berbeda-beda. Pandangan
hidup mencerminkan citra dari seseorang karena pandangan hidup itu mencerminkan
cita-cita atau aspirasinya.
Pandangan hidup cendrung diikat oleh nilai-nilai
sehingga berfungsi sebagai pelengkap
dalam pembuatan, pembenaran atau rasionalisasi
nilai-nilai. Pandangan hidup memberi
pandangan pada nilai-nilai yang dimilikinya
sendiri baik Bangsa, Negara maupun manusia
yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekat
untuk mewujudkannya.
Sumber Pandangan Hidup
1.
Pandangan hidup yang bersumber dari
agama (pandangan hidup muslim). Pandangan hidup ini memiliki kebenaran mutlak.
Contoh, pandangan hidup muslim(orang islam) bersumber dari Al-Quran dan sunnah
(sikap, perkataan, dan perbuatan Nabi Muhammad SAW). Dengan demikian maka pandangan
hidup muslim yang setia kepada islamtentang berbagaimasalah asasi hidup
manusia, merupakan jawaban muslim yang islam oriented mengenai berbagai persoalan pokok hidup manusia yang
tersimpul dalam Al-Quran dan Hadits.
2.
Pandangan hidup yang bersumber dari
ideologi merupakan abstaksi dari nilai-nilai budaya suatu negara atau bangsa.
Misalnya ideologi pancasila.
3.
Pandangan hidup yang bersumber dari
hasil renungan seseorang sehingga dapat merupakan ajaran atau etika hidup.
Misalnya aliran kepercayaan seperti agama Animisme, Kong Chu, Sinto, Budha,
Hindu, Angtingkan, dll.
Pengertian
Cita-Cita
Cita-cita adalah suatu keiginan yang
terkandung didalam hati, karena itu cita-cita juga berarti angan-angan,
keiginan, harapan, atau tujuan.
Cita-cita tidak dapat dipaksakan
dari kehidupan manusia, karena tanpa cita-cita berarti manusia tanpa dinamika.
Tidak ada dinamika berarti tidak ada kemajuan
dan hidup asal hidup saja. Itu sebabnya sikap hidup hanya menimbulkan
daya kreatifitas manusia. Banyak hasil seni yang melukiskan cita-cita,
kebajikan dan sikap hidup seseorang. Cita-cita sering kali berupa perasaan hati
yang merupakan suatu keinginan yang tidak ada dalam hati. Cita-cita diartikan
sebagai angan-angan, keinginan, kemauan, niat, atau harapan, keinginan ada yang
baik dan ada yang buruk, keinginan yang baik adalah keinginan yang dicapai
dengan tidak merugikan orang lain. Keinginan buruk adalah keinginan yang dapat
merugikan orang lain.
Cita-cita berarti harapan, keinginan,
dan tujuan.
Cita-cita yang
berarti harapan. Misalnya, Adi mendapat nilai C bukan main kecewanya, ia
mengharapkan nilai A, sebab pesiapan untuk final yang dilaksanakannya cukup
lama dan ia merasa telah menguasai benar-benar materi yang diujikan.
Cita-cita yang
berarti keinginan. Maya ingin sekali melanjutkan studinya UGM. Ia mendaftar dan
mengikuti testing masuk perguruan tinggi. Ternyata tidak lulus sehingga ia
tidak dapat melanjutkan studinya di UGM.
Cita-cita yang
berarti tujuan, Nana bertujuan setamat SMA akan melanjutkan sekolahnya di
Jakarta, ikut pamannya. Ternyata tamat SMA, pamannya dipindah tugaskan keluar
jawa. Hal itu menyebabkan Nana tidak jadi melanjutkan sekolahnya di Jakarta.
Pengertian
Kebajikan
Kebajikan atau
kebaikan adalah perbuatan moral, perbuatan yang sesuai dengan norma-norma agama
atau etika. Manusia berbuat baik, karena menurut kodratnya manusia itu baik dan
makhluk bermoral. Atas dorongan suara hatinya manusia cenderung berbuat baik.
Untuk melihat apa itu kebajikan, kita harus melihat dari tiga segi, yaitu :
·
Manusia sebagai pribadi, Yang menentukan
baik-buruknya adalah suara hati. Suara hati itu semacam bisikan dalam hati
untuk menimbang perbuatan baik atau tidak. Jadi suara hati itu merupakan hakim
terhadap diri sendiri. Suara hati sebenarnya telah memilih yang baik, namun
manusia seringkali tidak mau mendengarkan.
·
Manusia sebagai anggota masyarakat, Yang
menentukan baik-buruknya adalah suara hati masyarakat. Suara hati manusia
adalah baik, tetapi belum tentu suara hati masyarakat menganggap baik. Sebagai
anggota masyarakat, manusia tidak dapat membebaskan diri dari kemasyarakatan.
·
Manusia sebagai makhluk tuhan, manusia pun harus
mendengarkan suara hati Tuhan. Suara Tuhan selalu membisikkan agar manusia
berbuat baik dan mengelakkan perbuatan yang tidak baik. Jadi, untuk mengukur
perbuatan baik dan buruk, harus kita dengar pula suara Tuhan atau Kehendak
Tuhan. Kehendak Tuhan berbentuk Hukum Tuhan atau Hukum agama.
Jadi,
kebajikan itu adalah perbuatan yang selaras dengan suara hati kita, suara hati
masyarakat, dan Hukum Tuhan. Kebajikan berarti berkata sopan, santun, berbahasa
baik, bertingkah laku baik, ramah-tamah terhadap siapapun, berpakaian sopan
agar tidak merangsang bagi yang melihatnya.
Makna Kebajikan
Kebajikan dapat diartikan kebaikan
atau perbuatan yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, keuntungan, kemakmuran
dan kebahagiaan. Manusia berbuat kebaikan karena menurut kodratnya, manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Dengan kesucian jiwanya itu mendorong
hati nuraninya untuk berbuat kebaikan. “sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan”. (Q. S AN-Nahl = 90).
Manusia adalah seorang pribadi yang utuh yang terdiri atas jiwa dan badan.
Kedua unsur itu
terpisah bila manusia meninggal. Karena pribadi merupakan, manusia
mempunyai pendapai
sendiri, ia mencintai diri sendiri, perasaan sendiri, cita-cita sendiri dan
sebagainya.
Manusia merupakan makhluk sosial: manusia hidup bermasyarakat, manusia
saling
membutuhkan, saling tolong menolong, saling menghargai sesama anggota
masyarakat.
Sebaliknya pula saling mencurigai, saling membanci, saling merugikan dan
sebagainya. Manusia sebagai makhluk tuhan, diciptakan manusia dapat berkembang karena
Tuhan. Untuk itu manusia di lengkapi kemampuan jasmani dan rohani, juga
fasilitas alam sekitarnya seperti tanah, air, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
Kebajikan dapat dilihat dari tiga segi yaitu:
a.
Manusia sebagai pribadi; dapat menentukan baik buruk.
Yang menentukan baik buruk itu adalah suara hati. Suara hati bisikan dalam hati
untuk menimbang perbuatan baik atau tidak. Jadi, suara hati itu merupakan hakim
terhadap diri sendiri. Suara hati sebenarnya telah memilih yang baik, namun
manusia sering kali tidak mau mendengarkannya.
b.
Manusia sebagai anggota masyarakat; yang menentukan
baik buruk adalah suara hati masyarakat. Suara hati manusia adalah baik, tetapi
belum tentu suara hati masyarakat menganggap baik.
c.
Manusia sebagai makhluk Tuhan; melakukan apa yang
diperintahkan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Kebajikan berasal dari dua sumber yaitu:
a.
Manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini (Q. S
AL-Baqarah: 30)
b.
Allah Yang Maha Kuasa, yang menciptakan alam semesta
beserta seluruh isinya.
Kebajikan
Tuhan adalah berupa karunia-Nya. Bagi orang yang tidak beriman kepada Tuhan,
mereka tidak percaya adanya kebajikan yang berasal dari karunia-Nya, tetapi
bagi orang yang beriman, ia percaya bahwa kebajikan manusia adalah karena
karunia-Nya juga, manusia hanya sebagai perantaraannya saja.
Kebajikan
dapat dikelompokkan dalam tiga, yaiu:
a.
Kebajikan yang berupa tingkah laku, misalnya sabda dan
perbuatan Nabi Muhammad SAW merupakan Rahmatan
Lil’alamin.
b.
Kebajikan yang berupa benda-benda, misalnya harta
kekayaan, bila tidak diamalkan maka harta tersebut hanya berjasa bagi
pemiliknya saja, bila diamalkan harta demikian berfungsi untuk sosial.
c.
Kebajikan yang berupa benda yang tak berwujud,
misalnya ilmu pengetahuan, kemampuan dan keahlian untuk menciptakan sesuatu.
Referensi:
Mustopo, M.
Habib, Ilmu Budaya Dasar. Surabaya:
Usaha Nasional. 1983
Notowidagdo,
Rohiman, Ilmu Budaya Dasar Berdasarka
Al-Quran Dan Hadits. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2002
Prasetya,
Drs. Joko Tri, Ilmu Budaya Dasar.
Jakarta: PT. Rieneka Cipta. 1998
Pudjawiyatna,
Prof. Ir. Etika Filsafat Tingkah Laku.
Jakarta: PT.Bina Aksara. 1982
Sulaeman, M.
Munandar. Ilmu Budaya Dasar Suatu
Pengantar. Bandung: PT. Eresco. 1995
Widagdho, Djhoko. Ilmu Budaya Dasar.
Jakarta: PT. Bumi Akrasa. 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar